YAKUSA!!

"Yakin Usaha Sampai"

Selasa, 20 Juli 2010

Hukum Responsif dan Kebebasan Individu

Hukum modern pada dasarnya adalah suatu peralihan dari hukum tradisional yang lahir sebagai akibat adanya negara modern, untuk mencari tatanan yang lebih baik. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick, dalam bukunya “Law and Society in Transtition: Toward Responsif Law”, Hukum berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum senantiasa terikat pada status quo. Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak terikat pada satu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektikan kekuasaan. Jika demikian maka pihak yang berkuasa dengan baju otoritasnya mempunyai kewenangan yang sah menuntut warga negara agar mematuhi kekuasaan yang bertahta. Penggunaan kekuasaan ini bisa melahirkan karakter hukum yang represif, otonom, maupun responsif tergantung pada tahap pembentukan tata politik masyarakat yang bersangkutan.

Terdapat tiga tipe tatanan hukum yang menunjukan perkembangan hukum dalam masyarakat yang memiliki organisasi politik dalam bentuk negara, yaitu:

a) Tatanan Hukum yang Represif

Tatanan hukum tipe ini bertugas untuk menyelesaikan masalah yang sangat mendasar dalam mendirikan tatanan politik dan menjadi prasyarat bagi sistem hukum dan sistem politik mencapai sasaran yang lebih maju. Menurut Nonet dan Selznick masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan yang bersifat menindas melalui hukum berhubungan erat dengan masalah kemiskinan sumberdaya pada elite pemerintah. Penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas, terdapat pada masyarakat yang masih berada pada tahap pembentukan tatanan politik tertentu.

Hukum represif menunjukkan karakter-karakter sebagai berikut:

a) Institusi Hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum diidentifikasikan dengan negara

b) Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam administrasi hukum

c) Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi menjadi pusat kekuasaan yang independen.

d) Sebuah rezim dual law (hukum berganda) yang melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.

e) Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, menunjukkan moralisme hukum yang akan datang[1]

b) Tatanan Hukum yang Otonom,

Tatanan hukum tipe ini menunjukkan suatu proses menuju ke arah yang lebih baik dari tatanan hukum yang represif. Dalam hukum otonom, orientasi ditujukan pada pengawasan kekuasaan represif.

Hukum otonom menunjukkan karakter-karakter sebagai berikut:

a) Hukum terpisah dari politik. Sistem hukum menyatakan kemandirian kekuasaan peradilan dan membuat gari tegas antara fungsi legislatif dan politik.

b) Tertib hukum mengandung model peraturan

c) Prosedur adalah jantung hukum. Keteraturan dan ketertiban merupakan tujuan utama dan kompetensi utama dari tertib hukum, sehingga mengabaikan keadilan substantif.

d) Ketaatan pada hukum dipahami sebagai kepatuhan yang sempurna terhadap peraturan hukum positif.

Masyarakat yang baru dilahirkan harus menunjukkan dan membuktikan bahwa ia bisa mengatasi keadaan, menguasai anggota-anggotanya, atau menciptakan ketertiban. Tujuan utama yang harus dicapai oleh suatu mayarakat sebagai komitmen politik adalah ketertiban. Negara baru yang lebih mengutamakan tujuan tentu lebih mengutamakan isi dan substansi di atas prosedur atau cara-cara untuk mencapai substansi terebut. Artinya jika perlu prosedur atau cara-cara (hukum) bisa didorong ke belakang asalkan substansi (tujuan) bisa dicapai. Keadaan tersebut akan berubah jika tujuan-tujuan fundamental sedikit demi sedikit telah tercapai, yang pada akhirnya hukum akan terpisah dari politik menjadi subsistem yang lebih otonom. Ciri menonjol hukum otonom adalah terikatnya masyarakat secara kuat pada prosedur. Elite penguasa tidak lagi leluasa menggunakan kekuasaan karena ada komitmen msyarakat untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan tata cara yang diatur.

c) Tatanan Hukum Responsif

Strategi pembangunan hukum responsif meletakkan peranan yang besar pada lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Sehingga menghasilkan hukum yang berifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakatnya. Menurut Mahfud MD, karakter produk hukum reponsif dilahirkan oleh konfigurasi politik yang demokratis, dengan cirri-ciri: (1) proses pembuatannya partisipatif,(2) muatannya aspiratif, dan (3) rincian isinya limitatif[2].

Hukum Responsif mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a) Dinamika perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan dalam pertimbangan hukum.

b) Tujuan membuat kewajiban hukum semakin problematik, sehingga mengendurkan klaim hukum terhadap kebutuhan dan membuka kemungkinan bagi suatu konsepsi tatanan publik yang semakin tidak kaku dan semakin bersifat perdata.

c) Karena hukum memiliki keterbukaan dan fleksibilitas, advokasi hukum memasuki dimensi politik yang meningkatkan kekuatan yang dapat membantu mengoreksi dan mengubah institusi hukum, namun juga mengancam memperlemah integrasi institusional.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa produk hukum responsif merupakan akibat dari konfigurasi politik yang demokratis. Robert A. Dahl mengetengahkan bahwa dalam sistem demokrasi paling tidak ditunjukan oleh lima prinsip yaitu[3]:

1) Adanya prinsip hak yang tidak diperbedakan antara rakyat yang sau dengan yang lainnya.

2) Adanya partiipasi efektif yang menunjukan adanya proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan preferensinya dalam keputusan-keputusan yang diambil

3) Adanya pengertian yang menunjukan bahwa rakyat mengerti dan paham terhadap keputusan-keputusan yang diambil Negara, tidak terkecuali birokrasi.

4) Adanya konrol akhir yang diagendakan oleh rakyat, yang menunjukan bahwa rakyat mempunyai kesempatan istimewa untuk membuat keputusan dan dilakukan melalui proses politik yang dapat diterima dan memuaskan berbagai pihak.

5) Adanya inclusiveness yakni suatu pertanda yang menunjukkan bahwa yang berdaulat adalah seluruh rakyat.

Partisipasi masyarakat adalah hal yang sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan maupun kebijakan oleh pemerintah. Hal ini karena mayarakat merupakan objek sekaligus subjek yang akan menentukan keberhasilan kebijakan tersebut mencapai tujuannya.

Apabila kita merefleksi sejarah demokratisasi penyelengaraan pemerintahan Indonesia pada masa lalu, maka kita akan mencatat suatu model pemerintahan yang otoritarian, monopolistik dan tertutup. Demokrasi parsipatoris dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak memiliki akar sejarah yang kuat karena selalu berada dalam sebuah sistem hukum yang represif dan situasi demokrasi yang semu. Demokrai hanya dipahami tidak lebih dari sekedar pemilu dan konstitusi. Saluran partisipasi masyarakat ditutup dengan argumentasi bahwa aspirasi telah cukup terwakili oleh lembaga perwakilan rakyat, walaupun pada kenyataannya lembaga tersebut lebih membawakan suara partai dan tidak mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan.

Secara ideal pemerintah diharapkan dapat melaksanakan pemenuhan hak asasi warganya baik yang bersifat red light maupun green light karena telah meratifikasi ICCPR (Kovenan hak-hak sipil dan politik) melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 dan ICESCR (Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dengan Undang-undang nomor 11 Tahun 2005. Selain itu, setidaknya ada empat kebebasan (the four freedom) yang dianggap sebagai tiang hak asasi manusia yang mendasar dan bersifat universal, sebagaimana diungkapkan oleh F.D. Roosevelt, yaitu (1) kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat, (2) kebebasan untuk beragama, (3) kebebasan dari rasa takut, dan (4) kebebasan dari kemelaratan.

Pembentukan hukum yang responsif hanya akan tercapai apabila didukung oleh sistem politik yang demokratis, perlindungan yang optimal terhadah kebebasan masnusia, serta adanya pemerintah yang selalu memahami dan menerima terhadap kebutuhan sosial masyarakatnya.. Selain iu, perkembangan hukum yang responsif dipengaruhi pula oleh perkembangan ekonomi, sosial, dan politik yang memiliki peran yang sentral. Sistem ekonomi yang bebas, yang dituangkan dalam ketentuan kebebasan berkontrak, memungkinkan sistem perdagangan bebas yang mendorong membaiknya kondisi sosial. Dengan terjadinya hubungan harmonis antar berbagai golongan dalam masyarakat, iklim politik dimungkinkan menjadi sehat melalui sistem pemisahan dan pendistribusian kekuasaan yang jelas

Jaminan dan perlindungan kebebasan individu dilakukan oleh hukum. Perlindungan tersebut berlangsung karena pembuatan hukum melibatkan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui wakilnya diparlemen, materi muatannya yang harus selalu sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, serta rinciannya limitatif sehingga mencegah kesewenang-wenangan penguasa dalam penerapannya.

Franz Magnis Suseno membagi kebebasan menjadi dua, yaitu kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial. Kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri dan sifatnya positif. Artinya, kebebasan itu tidak menekankan segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Disebut eksistensial karena merupakan sesuatu yang menyatu dengan manusia. Jadi makna intinya adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Sedangkan kebebasan sosial adalah kebebasan yang secara hakiki dihayati dalam hubungan dengan orang lain.sehingga dengan demikian seorang manusia dikatakan bebas apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh orang lain[4]. Otonomi moral manusia memiliki inti bahwa segala kewajiban yang dilakukan manusia bukan karena dibebankan dari luar, melainkan karena kita sendirilah yang menyadarinya sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai sebuah tanggung jawab

Kebebasan manusia pada hakikatnya bisa dikatakan berhubungan dengan otonomi manusia. Tuhan sendiri telah menetapkan otonomi bagi manusia. Otonomi yang dimakud berarti, manusia punya hak pilihan moral bebas dan hak kemauan bebas di atas teater kehidupan yang bernama sejarah. Dengan perkataan lain, pilihan bebas dan kemauan bebas merupakan bagian dari konstitusi kemanusiaan itu sendiri[5].

Aristoteles juga mengemukakan bahwa kebebasan adalah dibolehkannya seseorang hidup sesukanya. Ini merupakan hak istimewa seorang bebas, sebab bila tidak tidak hidup sebagaimana dikehendaki, itu pertanda ciri seorang budak. Dari situ melahirkan tuntutan manusia untuk tidak dikuasai oleh siapapun, kalau mungkin, atau kalau tidak mungkin, tuntutan untuk secara bergantian berkuasa dan dikuasai. Dengan demikian tuntutan itu memperkuat kebebasan yang didasarkan pada persamaan.

Daftar Pustaka

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.

Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1987.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.

Muladi (ed),Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukumdan Masyarakat, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 20004, hlm. 76

Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2008.



[1] Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2008, hlm. 160

[2] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 7

[3] Muladi (ed),Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukumdan Masyarakat, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 20004, hlm. 76

[4] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1987, hlm. 31-32

[5] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 15